Beranda | Artikel
Besaran Nafkah Suami kepada Istri
Selasa, 17 September 2024

Dalam pernikahan Islam, syariat telah memberikan ketentuan bahwa kewajiban menafkahi istri dan anak-anak jatuh kepada suami. Suami memiliki kewajiban untuk mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan keluarganya. Hal ini sebagaimana tercantum di dalam surah An-Nisa’ tatkala Allah Ta’ala berfirman,

الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِم

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.(QS. An-Nisa’: 34)

Al-Imam As-Sa’di dalam kitab tafsirnya menyebutkan,

“Demikian juga Allah mengkhususkan mereka (suami) dengan (kewajiban memberi) nafkah kepada istri, bahkan pada sebagian besar nafkah laki-laki dikhususkan untuknya dan diistimewakan dengannya daripada wanita, dan mungkin hal ini adalah rahasia dari Firman Allah, ‘Karena mereka telah menafkahkan,’ di mana Allah menghilangkan obyek dalam kalimat tersebut untuk menunjukkan nafkah secara umum. Maka, dapat diketahui darinya bahwa semua laki-laki itu seperti wali dan tuan bagi istrinya, sedang istrinya itu adalah sebagai pendamping di bawah kekuasaan suaminya yang memiliki kewajiban untuk melayani dan membantu suaminya. Maka, tugas laki-laki adalah menunaikan apa yang telah Allah perintahkan untuk dijaga dan dipenuhi, dan tugas wanita adalah melakukan ketaatan kepada Rabbnya dan ketaatan kepada suaminya. Oleh karena itulah, Allah berfirman, ‘Sebab itu, maka wanita yang salehah, ialah yang taat’, yaitu ia taat kepada Allah, ‘lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,’

Di dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menerangkan bahwa di antara kewajiban suami yang harus ditunaikan adalah memberikan nafkah kepada istrinya. Adapun kewajiban seorang istri adalah berlaku baik dan salehah, taat kepada suaminya, dan menjaga dirinya serta harta yang telah diamanahkan oleh suaminya tersebut, meskipun suaminya tersebut sedang tidak ada di rumahnya.

Apabila sebuah rumah tangga benar-benar menjalankan bahtera rumah tangganya sesuai dengan apa yang Allah ajarkan, maka InsyaAllah keluarga tersebut akan dipenuhi dengan keberkahan dan keharmonisan. Masing-masing dari suami dan istri berusaha untuk menjalankan kewajiban yang telah Allah wajibkan kepada keduanya, saling menunaikan hak masing-masing di antara mereka.

Nafkah apa yang menjadi kewajiban suami kepada istrinya?

Mayoritas ulama fikih bersepakat bahwa nafkah yang wajib ada pada tiga hal, yaitu: pangan (kebutuhan makan dan minum), sandang (pakaian), dan papan (tempat tinggal).

Juga dalam hal pengobatan dan membeli obat-obatan apabila diperlukan menurut pendapat yang lebih kuat.

Mengenai kewajiban memberikan makan dan pakaian, maka itu berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

يا رسولَ اللَّهِ ، ما حقُّ زَوجةِ أحدِنا علَيهِ ؟ ، قالَ : أن تُطْعِمَها إذا طَعِمتَ ، وتَكْسوها إذا اكتسَيتَ ، أوِ اكتسَبتَ ، ولا تضربِ الوَجهَ ، ولا تُقَبِّح ، ولا تَهْجُرْ إلَّا في البَيتِ

“Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang dari kami yang wajib ditunaikan suaminya?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Engkau beri makan istrimu apabila engkau makan, dan engkau beri pakaian apabila engkau berpakaian. Janganlah engkau memukul wajahnya, jangan menjelekkannya, dan jangan memboikotnya (mendiamkannya), kecuali di dalam rumah.” (HR. Abu Dawud no. 2142)

Berdasarkan juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Hak mereka (istri) atas kalian (suami) adalah agar kalian memberi rezeki dan pakaian kepada mereka dengan cara yang baik.” (HR Muslim no. 1218)

Adapun tempat tinggal, maka berdasarkan firman Allah mengenai bagaimana seharusnya seorang suami memperlakukan istrinya yang sudah dicerai dan sedang dalam masa iddahnya,

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِن كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُن

Tempatkanlah mereka (para istri yang telah dicerai dan dalam masa iddah) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.” (QS. At-Talaq: 6)

Jika untuk seorang istri yang sudah dicerai dan sedang menjalani proses iddahnya saja, Islam memerintahkan untuk dipenuhi kebutuhan tempat tinggalnya, lalu bagaimana halnya dengan mereka yang masih berstatus istri kita?! Tentu mereka lebih utama dan wajib untuk dipenuhi kebutuhan tempat tinggalnya.

Adapun untuk keperluan sekunder atau tersier, maka itu bukanlah nafkah wajib bagi seorang suami, akan tetapi itu merupakan bentuk kebaikan dan kasih sayang kepada istri yang disyariatkan dan ditekankan oleh syariat kepada seorang suami. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda memotivasi umatnya untuk berbuat baik kepada istrinya,

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Dan akulah yang paling baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku (istriku).” (HR. Tirmidzi no. 3895)

Berapa besaran nafkah suami kepada istri?

Adapun untuk besaran nafkahnya, maka tidak ada besaran atau nominal khusus dalam menafkahi seorang istri.

Mazhab Hanafi, Maliki, Hanbali, dan sebagian Syafi’i bersepakat bahwa nafkah yang wajib diberikan harus memenuhi kebutuhan dan  mencukupi. Tentunya mencukupi di sini berdasarkan “urf” atau kebiasaan masyarakat setempat. Daerah satu dengan daerah lainnya, negara satu dengan negara lainnya, pastilah besaran kebutuhannya berbeda-beda. Maka, di dalam menafkahi pun besarannya menyesuaikan kebiasaan masyarakat, keluarga, dan daerah masing-masing, tidak ada batasan khusus dari syariat kita. Allah Ta’ala berfirman mengenai hal ini,

وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا

Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan sesuai kadar kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah: 233)

Yang dimaksud بالْمَعْرُوفِ  dalam ayat di atas adalah jumlah nafkah yang berkecukupan. Yaitu, sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat pada umumnya, tanpa berlebihan atau juga kekurangan, sesuai kadar kemampuan suami.

Allah Ta’ala di ayat yang lainnya juga menegaskan,

لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِۦ ۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُۥ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَا ۚ سَيَجْعَلُ ٱللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang, melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS. At-Talaq: 7)

Saat suami sedang diberikan kelapangan oleh Allah Ta’ala, maka sudah selayaknya untuk memenuhi semua kebutuhan istrinya atau bahkan memberikan yang terbaik kepada istrinya, memberikan apa-apa yang menjadi haknya dan yang diinginkannya selama itu diperbolehkan dalam syariat. Dan saat suami sedang dalam keadaan sempit, maka hendaklah ia tetap berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan istrinya, bekerja dan berusaha sesuai batas kemampuannya kemudian menyerahkan hasilnya kepada Allah Ta’ala seraya terus berdoa untuk diberikan kemudahan di dalam menafkahi keluarganya.

Adapun dalil bahwa besaran nafkah merujuk kepada kebiasaan masyarakat setempat atau berdasarkan kebutuhan masing-masing keluarga, maka berdasarkan kisah istri Abu Sufyan yang mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan,

دَخَلَتْ هِنْدٌ بنْتُ عُتْبَةَ امْرَأَةُ أَبِي سُفْيَانَ علَى رَسولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَتْ: يا رَسولَ اللهِ، إنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ، لا يُعْطِينِي مِنَ النَّفَقَةِ ما يَكْفِينِي وَيَكْفِي بَنِيَّ إلَّا ما أَخَذْتُ مِن مَالِهِ بغيرِ عِلْمِهِ، فَهلْ عَلَيَّ في ذلكَ مِن جُنَاحٍ؟ فَقالَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ: خُذِي مِن مَالِهِ بالمَعروفِ ما يَكْفِيكِ وَيَكْفِي بَنِيكِ.

Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan, masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan adalah orang yang pelit. Ia tidak memberiku nafkah yang cukup untukku dan anak-anakku, kecuali aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah yang demikian itu aku berdosa?’ Beliau bersabda, ‘Ambillah dari hartanya yang cukup untukmu dan anak-anakmu dengan cara yang makruf (sebutuhnya dan tidak berlebih-lebihan) dan baik.’ (HR. Bukhari no. 7161 dan Muslim no. 1714)

Nabi menyebutkan bahwa besaran harta yang boleh diambil adalah sebatas apa yang mencukupi kebutuhan istri Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhu tersebut. Maka, ini menunjukkan bahwa besaran nafkah yang wajib kepada suami akan berbeda-beda dan tidak ada patokan pastinya. Semua kembali kepada seberapa besar kebutuhan hidup masing-masing keluarga dan budget minimal kelayakan hidup di sebuah daerah.

Penutup

Islam adalah agama yang adil dan bijaksana. Dalam kehidupan berumah tangga, masing-masing pasangan telah Allah Ta’ala berikan kewajiban dan haknya masing-masing. Dalam hal mencari nafkah, maka hal tersebut dibebankan dan diwajibkan kepada seorang suami.

Islam pun tidak tidak memaksa suami untuk memenuhi nominal tertentu atau jumlah tertentu, yang terpenting adalah sejauh mana ia berusaha dan berikhtiar di dalam melaksanakan kewajibannya tersebut. Islam juga memberikan motivasi dan ganjaran yang besar teruntuk para suami yang berusaha keras memenuhi kebutuhan keluarganya. Di antaranya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi,

إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ

“Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti), kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun makanan yang kamu berikan kepada istrimu.” (HR. Bukhari no. 56)

Mencari lalu kemudian memberi nafkah merupakan salah satu bentuk ibadah yang akan mendapatkan ganjaran besar di hari akhir nanti.

Wallahu Ta’ala A’lam Bisshawab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.


Artikel asli: https://muslim.or.id/97774-besaran-nafkah-suami-kepada-istri.html